
Latar Belakang
Seorang dosen bercerita, ia menghabiskan hampir satu minggu hanya untuk menyusun laporan Beban Kerja Dosen (BKD), memperbarui akun SINTA, dan menyusun rencana penelitian sesuai template institusi. Dalam seminggu itu, tidak satu pun ide baru yang sempat ditulis. Tak ada waktu membaca. Tak ada ruang berpikir. Di akhir minggu, yang tersisa hanya kelelahan administratif—tanpa gairah intelektual.
Cerita ini bukan anekdot semata. Ia menjadi potret keseharian yang lazim di banyak kampus di Indonesia. Di balik semangat “transformasi pendidikan tinggi”, tersembunyi sebuah ironi: dosen makin kehilangan jati diri sebagai pemikir. Mereka makin sering disibukkan oleh form, laporan, dan sistem, ketimbang gagasan, kritik, dan riset bermakna.
Fakta Penting
Transformasi yang dijanjikan justru menjelma birokratisasi yang membelenggu. Kampus menjelma kantor. Rektor seperti manajer korporasi. Dan dosen—yang seharusnya menjadi aktor perubahan—terjebak menjadi petugas administrasi yang mengejar skor.
Salah satu ironi besar pendidikan tinggi kita adalah bagaimana gagasan kebebasan akademik terus digaungkan, tapi praktiknya justru berjalan berlawanan. Banyak perguruan tinggi kini lebih mirip birokrasi pemerintahan: hirarkis, administratif, dan penuh pengawasan. Sistem yang dibangun bukan untuk mendorong keberanian berpikir, melainkan untuk memastikan kepatuhan.
Dampak
Kondisi ini tidak hanya merugikan dosen, tetapi juga mengancam masa depan pendidikan tinggi Indonesia. Kekurangan waktu untuk berpikir dan berekspresi secara intelektual berpotensi menghambat lahirnya inovasi dan pemikiran kritis yang menjadi dasar perkembangan bangsa.
Sebagai pertanyaan retoris: Apakah transformasi pendidikan tinggi seharusnya mengarah pada birokratisasi atau pengembangan intelektualitas?