
Latar Belakang
Di Indonesia, garis kemiskinan bukan sekadar angka. Ia menjadi alat seleksi siapa yang layak menerima bantuan, dan siapa yang harus berjuang sendirian. Lebih dari itu, ia berubah menjadi simbol kesuksesan pembangunan sekaligus panggung statistik bagi ambisi politik. Namun di balik kesan objektifnya, angka ini sering kali menyembunyikan wajah paling getir dari kehidupan jutaan orang.
Fakta Penting
Sampai tahun 2025, Badan Pusat Statistik (BPS) masih mengandalkan pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN) untuk menentukan garis kemiskinan nasional, yakni Rp595.243 per kapita per bulan. Pendekatan ini menyederhanakan kemiskinan hanya sebagai ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar, pangan, dan non-pangan. Namun, angka ini sering kali tidak mampu merefleksikan realitas yang lebih kompleks dan dinamis di masyarakat.
Dampak Sosial dan Politik
Garis kemiskinan yang ditetapkan BPS menjadi titik tolak bagi berbagai program bantuan sosial. Namun, penggunaan pendekatan CBN yang terlalu sederhana dapat menyebabkan ketidakadilan dalam distribusi bantuan. Banyak masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan tetapi tidak menerima bantuan karena tidak memenuhi kriteria tertentu. Sebaliknya, beberapa orang yang seharusnya mendapatkan bantuan mungkin tidak tercakup karena batasan angka yang terlalu kaku.
Penutup
Garis kemiskinan bukan hanya soal angka, tetapi juga soal bagaimana kita melihat dan merespon ketidaksetaraan di masyarakat. Dengan tetap menggunakan pendekatan CBN hingga tahun 2025, Indonesia perlu memastikan bahwa angka tersebut tidak hanya menjadi statistik, tetapi juga alat perjuangan untuk menciptakan ketadilan sosial yang lebih baik. Bagaimana kita menangani “Bias-Bias Standar Garis Kemiskinan” akan menjadi kunci dalam upaya membangun Indonesia yang lebih adil dan sejahtera.